POROSKOTA.COM, JAKARTA – Memiliki anak yang terlahir sehat dan optimal dalam tahapan tumbuh kembangnya tentu menjadi harapan bagi setiap orang tua di dunia, termasuk di Indonesia.
Para orang tua, baik ayah maupun ibu, tentunya akan melakukan apapun yang terbaik bagi anak mereka agar tumbuh menjadi generasi unggul.
Termasuk memberikan asupan makanan yang mengandung gizi seimbang dan nutrisi tinggi.
Namun mirisnya, saat ini masih banyak anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhannya.
Bahkan sebagian diantara mereka cenderung mengalami gangguan pada proses tumbuh kembangnya.
Satu dari beragam gangguan yang banyak dialami anak dan menimbulkan kekhawatiran bagi para orang tua adalah stunting.
Perlu diketahui, stunting kini masih menjadi isu yang sangat penting di Indonesia.
Jika dibandingkan dengan angka yang menjadi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah anak yang mengalami stunting di negara ini masih tergolong tinggi.
Pemerintah pun hingga kini masih concern pada isu stunting, karena isu ini dianggap sebagai penghambat pertumbuhan Sumber Daya Manusia (SDM), padahal Indonesia diperkirakan akan mencapai puncak bonus demografi pada 2030.
Termasuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang masih mencari strategi percepatan pencegahan masalah ini.
Oleh karena itu, untuk menuju Indonesia Maju dan memiliki SDM Unggul, maka anak-anak Indonesia tentunya harus terbebas dari stunting.
Lalu apa itu stunting?
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita yang disebabkan kekurangan gizi kronis, ini terutama terjadi dalam masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Nah, jika dilihat dari angka Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, persentase anak yang memiliki status gizi pendek atau sangat pendek, mencapai angka sekitar 30,8 persen.
Namun berdasar pada Survey Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI), prevalensinya mengalami penurunan pada 2019, yakni menjadi 27,7 persen.
Kemudian kembali turun menjadi 24,4 persen pada 2021.
Kendati turun hingga mencapai 24,4 persen, angka ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan oleh WHO yakni di bawah 20 persen.
Melihat masih cukup tingginya angka prevalensi stunting di Indonesia, pemerintah maupun sektor swasta pun terus menggiatkan berbagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Ahli Gizi dan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH., mengatakan bahwa anak yang mengalami stunting tentu akan terlihat lebih pendek jika dibandingkan anak lainnya pada usia yang sama.
“Stunting itu menurut WHO dan UNICEF adalah anak balita yang memiliki tinggi badan kurang dari standar umurnya,” ujar Prof Fika, dalam live talkshow JAPFATalk bertajuk ‘Generasi Indonesia Bebas Stunting' di kanal YouTube, Jumat (29/7/2022).
Ia pun mengingatkan para orang tua untuk memperhatikan asupan nutrisi anak mereka sejak masih dalam kandungan hingga momen periode emas (golden period), yakni 1.000 HPK.
Tanda anak mengalami stunting ini, kata dia, sebenarnya sudah bisa terlihat sejak usia 2 tahun.
“Nah permasalahan stunting ini dimulai sejak dia di 1.000 hari pertama kehidupan ya. Dan bukan hanya itu, mulai dia dari kandungan sampai dia mengalami masa anak-anak tersebut, bahkan di usia 2 tahun pun stunting sudah bisa terlihat,” kata Prof Fika.
Namun mirisnya, ternyata banyak ibu hamil yang belum memahami pentingnya nutrisi pada saat masa kehamilan.
Padahal nutrisi yang cukup pada ibu hamil akan membuat pertumbuhan bayinya berlangsung optimal saat masih berada dalam kandungan.
Keterbatasan pengetahuan terkait pentingnya memperhatikan nutrisi dan gizi seimbang inilah yang menjadi tantangan pemerintah hingga saat ini.
“Ya jadi permasalahan stunting itu karena anak mengalami kekurangan gizi kronis yang biasanya dimulai sejak dia dalam masa kandungan. Jadi anak tersebut misalnya ibunya status gizinya kurang,” jelas Prof Fika.
Yang perlu dicatat, jika anak terlahir dalam kondisi stunting, maka generasi penerusnya pun berpotensi mengalami hal yang sama.
Di Indonesia, kata dia, anemia menjadi salah satu penyakit yang dialami mayoritas ibu hamil.
Hal ini tentu saja berdampak pada terhambatnya asupan nutrisi bagi janin yang sebenarnya dapat disalurkan melalui darah ibu jika tidak mengalami anemia.
“Saat ini di Indonesia (didominasi) masalah anemia, itu masih dialami oleh sekitar hampir 50 persen ibu hamil. Dan anemia tentu saja berdampak pada janin yang dikandungnya. Karena zat-zat gizi yang harusnya didapat oleh janin itu menjadi terhambat. Kmudian juga masih cukup besar angka kurang energi kronis pada ibu hamil,” papar Prof Fika.
Sederet faktor inilah yang dapat memicu sang ibu melahirkan bayi dengan kondisi stunting.
“Nah ibu-ibu yang hamil dalam kondisi tersebut, kemungkinan besar akan memiliki anak yang lahir stunting,” kata Prof Fika.
Lalu apa saja faktor yang dapat menjadi penyebab anak mengalami stunting?
Prof Fika menyebutkan bahwa selain gizi, ada banyak faktor yang dapat memicu bayi terlahir stunting atau anak mengalami stunting, mulai dari faktor gizi, infeksi hingga psikososial.
Faktor-faktor inilah yang membuat prevalensi stunting sulit untuk diturunkan.
“Jadi sebenarnya penyebab stunting itu multi faktor ya, dan bahkan di beberapa daerah pun juga berbeda-beda (psikososial). Nah itu yang menyebabkan stunting itu tidak mudah diatasi,” tutur Prof Fika.
Ia pun menyadari bahwa selama ini yang lebih digaungkan banyak pihak adalah faktor penyebab tidak langsung stunting seperti pengetahuan dan pendidikan hingga status sosial ekonomi.
Padahal penyebab langsung seperti penyakit dan asupan makanan juga memiliki peranan yang sangat penting.
“Ada penyebab langsung dan tidak langsung, tetapi menurut saya yang agak kurang menjadi perhatian saat ini adalah penyebab langsung. Nah penyebab langsung itu ada 2, yaitu penyakit dan asupan makan,” jelas Prof Fika.
Menurutnya, faktor penyebab langsung anak mengalami stunting hingga saat ini masih kurang digaungkan.
Perlu diketahui, asupan makanan yang baik untuk mencegah stunting adalah berasal dari sumber pangan yang mengandung protein hewani.
Karena nutrisi yang dibutuhkan bayi atau anak agar bisa tumbuh kembang secara optimal tentunya dapat diperoleh dari jenis protein satu ini.
“Tetapi masalah penyebab langsung inilah yang menurut saya ‘kok masih kurang'. Terutama terkait dengan asupan makan yang mendukung pertumbuhan anak, seperti misalnya bagaimana mengkonsumsi protein hewani,” jelas Prof Fika.
Ia kemudian menjelaskan bahwa pemerintah pun saat ini mulai concern pada faktor penyebab langsung sejak Januari lalu.
Meskipun kesadaran terkait pentingnya faktor ini baru muncul beberapa bulan lalu, dirinya mengapresiasi keseriusan pemerintah dalam menangani isu ini.
“Nah pemerintah baru memulai memberikan informasi kepada masyarakat terkait makanan itu sejak bulan Januari 2022. Jadi, lebih perhatian kepada makanan itu baru dimulai, dan saya rasa itu suatu hal yang baik, untuk kita saat ini mulai fokus lah pada pemberian asupan makan kepada anak,” tegas Prof Fika.
Lalu apakah protein hewani memiliki peranan penting dalam mencegah stunting?
Prof Fika menekankan bahwa jenis protein memang terbagi dua, yakni protein nabati dan protein hewani.
Namun keduanya memilik kualitas yang tentu saja berbeda.
Dalam proses tumbuh kembangnya, anak tentunya membutuhkan asam amino esensial yang lengkap agar dapat memenuhi kebutuhan pada masa 1.000 HPK.
Asam amino lengkap ini pun dapat diperoleh dari protein hewani.
“Untuk pertumbuhan itu, dibutuhkan asam amino esensial yang lebih lengkap, dibandingkan dengan yang bukan untuk pertumbuhan. Otomatis untuk mendapatkan asam amino esensial yang lengkap, itu bisa kita dapatkan dari protein hewani,” tutur Prof Fika.
Oleh karena itu, para orang tua harus berkomitmen untuk selalu memberikan makanan yang mengandung protein hewani, agar tumbuh kembang anak dapat berlangsung secara optimal.
“Nah, jadi kalau kita punya target untuk menurunkan stunting, otomatis kita tidak bisa lepas dari mencoba memberikan kepada anak kita semaksimal mungkin, seoptimal mungkin makanan yang mengandung protein hewani. Sehingga asam amino esensial yang didapatkan oleh anak itu lengkap,” tegas Prof Fika.
Ia pun menambahkan, ada cukup banyak studi yang menunjukkan bahwa kekurangan asam amino esensial berpotensi mengurangi laju pertumbuhan anak.
Lalu protein hewani apa saja yang mengandung asam amino esensial ?
Prof Fika menyebutkan bahwa ada banyak sumber pangan yang mengandung protein hewani, mulai dari daging merah, daging ayam hingga ikan.
“Jadi, berdasarkan studi menunjukkan bahwa untuk mendapatkan asam amino yang lengkap itu bisa didapatkan dari protein hewani tidak hanya satu jenis, tapi berbagai macam. Misalnya daging ayam, sapi, kambing, kemudian ikan, telur, itu juga harus didapat, supaya semuanya saling melengkapi,” pungkas Prof Fika.
Hal yang sama pun turut disampaikan Ahli Gizi Masyarakat, Dr. dr. Tan Shoy Yen, M.Hum., yang mengatakan bahwa protein hewani memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak pada periode emasnya.
“Protein hewani kaya dengan zat besi dan asam amino lengkap yang memenuhi kebutuhan anak untuk bisa tumbuh kembang, khususnya di 1.000 HPK,” jelas Dr. Tan, saat dihubungi Poroskota.com, Rabu (7/9/2022).
Hal itu karena selain mengandung asam amino lengkap, zat besi yang terkandung dalam protein hewani pun berasal dari hemoglobin hewani (HEME), sehingga lebih mudah diserap tubuh jika dibandingkan dengan protein nabati.
“Zat besinya bersifat HEME, artinya bioavailability-nya tinggi, mudah diserap tubuh, semua (protein hewani) yang terdapat secara lokal (ada pada) hati ayam, telur, ikan,” kata Dr. Tan.
Dr. Tan kemudian menyebutkan nutrien esensial yang sangat dibutuhkan tubuh anak pada masa tumbuh kembangnya.
“Makronutrien itu karbo (karbobidrat), protein, lemak. Dan mikronutrien itu vitamin, mineral, itu esensial pada anak yang sedang tumbuh kembang. Kekurangan zat besi membuat bayi anemia dan tumbuh kembangnya terganggu, serta nafsu makannya buruk,” tegas Dr. Tan.
Lalu bagaimana peran para orang tua dalam mencegah anaknya agar tidak mengalami stunting?
Menurut Prof Fika, memberikan literasi gizi saat ini sangat penting bagi para orang tua, karena jika mereka tidak memiliki literasi yang baik, maka informasi apapun yang diberikan mengenai stunting tidak akan mudah mereka pahami.
Selain memperhatikan asupan makanan pada periode emasnya, para orang tua harus memperhatikan pula saat anak mereka mulai memasuki usia remaja.
Terutama jika mereka memiliki anak perempuan, tentunya gizi seimbangnya harus terpenuhi.
Hal itu karena remaja perempuan ini nantinya akan tumbuh menjadi wanita dewasa dan memiliki keturunan.
“Jadi kita harus memperhatikan memang, stunting itu penyebabnya di 1.000 hari pertama (kelahiran), dan sebelum 1.000 hari. Jadi di remaja, otomatis kalau kita memiliki anak remaja, terutama perempuan, penuhi zat gizinya, terutama untuk Fe (zat besi),” kata Prof Fika.
Sementara itu pada kondisi ibu hamil, harus disadari pula pentingnya mengkonsumsi makanan yang mengandung gizi seimbang dan memiliki berat badan yang cukup pada masa kehamilan ini.
Hal ini penting agar bayinya tidak terlahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
“Nah kemudian pada saat hamil, dalam kondisi status gizi yang baik, biasanya berat badannya itu cukup ya, jadi memadai. Ibunya tidak terlalu kurang gizi, kemudian pada saat hamil dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ada kenaikan berat badan yang harus direkomendasikan, berapa harus dicapai, sehingga nanti bayinya akan lahir tidak BBLR, jadi cukup berat badannya,” jelas Prof Fika.
Saat sudah melahirkan pun, sang ibu harus memiliki cadangan lemak yang cukup untuk bisa memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif selama 6 bulan.
Oleh karena itu, penting untuk mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang untuk memenuhi cadangan lemak ini agar ASI yang diberikan pada bayi pun berkualitas.
“Nah kita tahu bahwa pemberian ASI yang paling baik itu adalah memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan, tapi memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan itu harus didukung dengan gizi ibu menyusui yang baik. Karena nggak mungkin dapat menyusui kalau gizi ibunya kurang baik, bagaimana memberikan bayinya asupan ASI yang berkualitas,” papar Prof Fika.
Saat bayi telah berusia 6 bulan, maka ibu bisa memberikan makanan pendamping ASI (MPASI), namun olahan makanan untuk MPASI ini pun harus sangat diperhatikan.
MPASI yang baik adalah makanan yang dapat memenuhi kebutuhan tumbuh kembangnya.
Prof Fika pun menyarankan agar para ibu mengolah MPASI dengan memilih sumber pangan yang mengandung protein hewani, seperti daging merah, daging ayam, telur, ikan.
“Nah selesai memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan, setelah itu dia harus diberikan MPASI yang memadai, jadi artinya cukup, kualitasnya juga baik, nah itu yang harus sangat diperhatikan. Dan juga ibunya harus tahu kalau memberikan makanan itu terutama untuk pertumbuhan adalah protein, dan protein itu adalah protein hewani,” tutur Prof Fika.
Terkait pemahaman mengenai pemenuhan gizi seimbang bagi ibu menyusui dan anak, Annisa (26), seorang ibu yang baru saja memiliki bayi berusia 2 tahun, mengaku bahwa sejak anaknya masih berada dalam kandungan, dirinya selalu mengkonsumsi makanan yang mengandung protein hewani, seperti telur, susu, daging hingga ikan.
Hal itu karena ia memahami apa yang dikonsumsi selama masa kehamilan, tentu akan berpengaruh pula pada pertumbuhan bayinya.
Karena saat masih dalam kandungan, bayi yang dikandungnya akan mengambil nutrisi dari asupan makanan yang dikonsumsi ibunya.
Sehingga Annisa pun berkomitmen untuk terus mengkonsumsi makanan yang mengandung gizi seimbang dan kaya protein hewani pada 9 bulan masa kehamilannya.
“Aku itu sejak awal hamil sudah komitmen untuk selalu menjaga asupan makananku, harus mengandung protein hewani, karena nutrisinya akan didapatkan bayiku (dalam kandungan),” kata Annisa kepada Poroskota.com
Setelah bayi laki-lakinya lahir, Annisa tetap mengkonsumsi protein hewani karena ia memutuskan untuk memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada anaknya.
“Setelah melahirkan, aku tetap pegang komitmen aku untuk terus mengkonsumsi daging, telur, ikan, udang, ini demi menunjang kebutuhan asam amino esensial lengkap yang diperlukan bayiku saat menyusui eksklusif ASI ya,” tegas Annisa.
Meskipun dirinya merupakan seorang ibu muda, pengetahuannya terhadap kebutuhan anaknya pun tergolong cukup banyak.
Ia berupaya meningkatkan literasi mengenai peran ibu sejak masa kehamilan hingga masa periode emas anak.
Selain memberikan ASI eksklusif sambil terus mengkonsumsi protein hewani, ia juga memberikan MPASI untuk anaknya dengan sumber pangan serupa.
Annisa menegaskan bahwa dirinya tidak ingin pertumbuhan anaknya mengalami hambatan atau gangguan pada masa periode emas.
“Anak aku itu sejak usia 6 bulan mulai aku berikan MPASI, itu makanannya aku olah sendiri, biasanya pakai ikan, ayam, telur, terkadang pakai udang juga, sambil aku tambah sedikit protein nabati juga seperti sayuran,” jelas Annisa.
Nah, untuk memutus mata rantai stunting ini, berbagai pihak pun kini semakin berkomitmen untuk turut mengambil peranan dan mendukung pemerintah, termasuk sektor swasta.
Hal inilah yang ditunjukkan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JAPFA) dalam mendorong pengimplementasian tindakan untuk mencegah stunting pada anak-anak Indonesia demi ‘Penuhi Asupan Protein Hewani, Sambut Generasi Bebas Stunting'.
Direktur Corporate Affairs JAPFA, Rachmat Indrajaya mengatakan bahwa pihaknya selalu berkomitmen untuk mendukung langkah pemerintah dalam upaya menurunkan angka stunting.
Karena anak-anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan tumbuh menjadi SDM Unggul di masa depan.
“Kami berkomitmen untuk tidak hanya fokus ada aspek ekonomi saja, melainkan juga pada aspek sosial dan lingkungan yang membuat perusahaan dapat berjalan seimbang,” kata Rachmat.
Ia juga menegaskan bahwa pihaknya berupaya memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait pentingnya mengkonsumsi makanan yang mengandung gizi seimbang serta protein hewani.
JAPFA pun memiliki produk yang mengandung protein hewani seperti daging sapi wagyu, daging ayam, hingga produk olahan seafood.
Nah, para orang tua bisa mengajak anak untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung protein hewani agar terbebas dari stunting.